welcome

Selamat datang di blog keluarga Subi. Temukan informasi bisnis keluarga kami dan info ruhani di sini.

Tuesday, December 11, 2012

HAKIKAT PERUBAHAN


HAKEKAT PERUBAHAN

Tafsir QS ar-Ra‘du [13] Ayat 11
Oleh : Muhammad Abu Aulia Ghozali

]لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللهِ إِنَّ اللهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلاَ مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ[
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya; mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya; sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
(QS ar-Ra’du [13]:11).



Makna Global
Manusia senantiasa dijaga oleh malaikat.  Amal manusia dicatat oleh malaikat yang menyertainya, Raqib dan Atid. Karena semua amal manusia dicatat oleh malaikat dan manusia diberi pilihan, maka ketika seseorang atau masyarakat berada dalam kondisi buruk, mereka diperintahkan untuk melakukan perubahan. Begitu pula sebaliknya, kenikmatan yang diberikan oleh Allah Swt. akan berganti menjadi malapetaka jika mereka mengubahnya. Perubahan yang terjadi diinformasikan oleh Allah Swt. hanya akan terjadi jika dilakukan oleh masyarakat itu sendiri, baik ke arah baik maupun ke arah buruk. Ketika suatu masyarakat hendak berubah maka masyarakat itu sendirilah yang harus memperjuangkan dan melakukan perubahan, bukan yang lain.
Di samping itu, bukan hanya mereka sendiri yang harus melakukan perubahan, apa yang harus diubah pun dijelaskan dalam ayat ini. Allah Yang Mahatahu menegaskan bahwa yang harus diubah itu adalah segala sesuatu yang terkait dengan apa yang hendak diubah tersebut dan yang meniscayakan terjadinya perubahan. Pangkal dari semua itu adalah pemahaman (mafâhim).  Artinya, untuk mengubah suatu keadaan harus dilakukan perubahan mafâhim. 
Jika suatu masyarakat hendak mengubah sistem ekonomi kapitalis menjadi ekonomi Islam haruslah dilakukan perubahan pemahaman dalam diri mereka tentang kebobrokan ekonomi kapitalis sekaligus pemahaman tentang kewajiban menerapkan ekonomi Islam dan pemahaman tentang apa dan bagaimana sistem ekonomi Islam. Demikian juga untuk mengubah masyarakat jahiliah menjadi masyarakat Islam;  pemahaman jahiliah yang berkaitan dengan pemikiran, perasaan, dan sistem aturan sebagai pembentuk masyarakat harus diubah dan diganti menjadi pemahaman yang berdasarkan Islam. 

Pendapat Para Ahli Tafsir
Berikut ini adalah komentar para ahli tafsir berkenaan dengan ayat di atas:
1.  Imam Jalalain: Frasa “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum,” bermakna tidak mencabut kenikmatan dari mereka; sedangkan frasa,  “sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,” bermakna dari keadaan baik menjadi keadaan maksiat. 
2.  Imam Ibnu Katsir—mengutip hadis qudsi marfû’: Rasul bersabda: Allah berfirman: Demi kemuliaan-Ku, kebesaran-Ku dan ketinggian-Ku di atas ‘Arsy, tidaklah suatu negeri dan penghuninya berada dalam kemaksiatan kepada-Ku yang Aku benci, kemudian mereka berupaya mengubah keadaan tersebut menjadi ketaatan kepada-Ku yang Aku cinta, melainkan Aku akan mengubah bagi mereka siksa-Ku yang mereka benci menjadi rahmaht-Ku yang mereka sukai.” (Dari penuturan Ali bin Abi Thalib k.w., sebagaimana diriwayatkan dari al-Hafizh Muhammad bin Utsman.)
3.  Imam Al-Ghazali: Allah tidak akan pernah mengubah kenikmatan yang telah diberikan kepada suatu kaum hingga mereka mengubahnya.
4.  Imam az-Zarqani: Sesungguhnya umat yang menghendaki Allah Swt. mengubah keadaan yang tidak mereka sukai ada pada kaumnya wajib mengubah sikap jiwanya terlebih dulu. Jika mereka telah melakukannya, niscaya Allah Swt.  akan mengubah keadaan mereka pada keadaan yang mereka ridhai. Ini merupakan satu-satunya mukjizat keilmuan al-Quran.  Setelah dibukakan rahasia ini oleh al-Quran, teranglah bagi kita wajibnya amar makruf nahi mungkar untuk melakukan perubahan.
5.  Imam al-Baydhawi:  Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan kenikmatan dan kebaikan suatu kaum hingga mereka sendiri mengubah kebaikan yang ada dalam diri mereka dengan keburukan. 
6.  Imam Az-Zarkasyi: Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah kenikmatan yang diberikan kepada suatu kaum hingga kaum itu sendiri mengubah apa yang ada dalam diri mereka.
7.  Imam ath-Thabari: Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah kenikmatan dan kesehatan suatu kaum dengan cara menghilangkan dan membinasakannya hingga mereka mengubahnya sendiri dengan melakukan kezaliman dan kejahatan satu sama lain.  Jika ini terjadi maka ketika itu turun siksa-Nya dan terjadilah perubahan. 
8.  Imam as-Suyuthi: Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah kenikmatan yang diberikan kepada suatu kaum hingga mereka mengubah apa-apa yang ada dalam diri mereka.  Nikmat disini adalah Muhammad saw. yang diberikan kepada Quraisy, tetapi mereka kufur terhadapnya.  Karena itu, Allah memberikannya kepada kaum Anshar.
9.  Imam ats-Tsa‘labi:  Ayat ini merupakan kabar dari Allah Swt. bahwa jika Dia telah memberikan kenikmatan kepada suatu kaum, maka dengan kelembutan dan kasih sayang-Nya Dia tidak akan mengubahnya hingga datang dari mereka pihak yang mengubah keadaan mereka yang baik tersebut. Jika ini terjadi, maka Allah Swt. mengubah kenikmatan tersebut dengan malapetaka, seperti yang menimpa Quraisy saat mengingkari kenikmatan berupa kerasulan Muhammad saw.

Mafâhim: Dasar Perubahan
Pemahaman terhadap ayat tersebut akan utuh jika dipahami secara tepat makna kata bi dalam frasa bi qawmin dan bi anfusihim, makna qawmun, dan makna . 
Kata Bi merupakan kata yang menunjukan ‘pertemanan’ (mushâhabah). Dalam ayat ini seakan-akan Allah Swt. mempertemankan antara perubahan yang terjadi dalam suatu kaum dengan perubahan segala sesuatu yang meniscayakan perubahan tersebut dalam dirinya.
Kata qawm dapat mengandung dua makna, yaitu individu (al-fard) dan kelompok masyarakat (al-jamâ‘ah/al-mujtama). Dalam kamus Al-Muhîth disebutkan bahwa qawm adalah kelompok yang terdiri dari para laki-laki dan perempuan secara bersama-sama atau khusus laki-laki atau diikuti oleh perempuan.  Hal ini mencakup baik individual maupun masyarakat secara kolektif.  Dalam bahasa Arab dapat dikatakan kalimat, “Jâ’a al-Qawm (Telah datang kaum itu),” sekalipun yang dimaksudkan hanyalah tiga orang saja.  Kata qawm juga menunjukkan makna masyarakat. Misalnya, kita menyebut Quraisy Hudzail, Ghathfan adalah kaum (qawm);  dengan maksud masyarakat Quraisy, masyarakat Hidzail, dan masyarakat Ghathfan.
Sementara itu, ‘mâ’ merupakan kata ‘âm (kata umum), yang artinya segala sesuatu, baik maupun buruk. Dalam ayat ini berarti perubahan apapun di dalam suatu kaum/masyarakat terjadi disebabkan dan bersama dengan perubahan setiap hal yang menentukan perubahan itu dalam diri kaum tersebut.  Atas dasar ini, secara bahasa, ayat itu bermakna, “Sungguh, benar-benar Allah Swt. tidak akan pernah mengubah apapun yang ada di dalam individu atau masyarakat hingga mereka sendiri mengubah segala sesuatu yang ada dalam dirinya yang meniscayakan perubahan tersebut.   Dengan kata lain, ayat tersebut mengandung dua hal menyangkut perubahan: (1) perubahan harus dilakukan oleh kaum itu sendiri; (2) yang harus diubah itu adalah apa-apa yang ada  dalam diri kaum tersebut. Apa-apa yang ada dalam diri kaum inilah yang menentukan perubahan.
Secara realitas, yang dapat mengubah keadaan masyarakat adalah pemikiran dan perbuatan. Dua hal inilah yang merupakan pangkal perubahan dan yang meniscayakan adanya perubahan.  Jika yang hendak diubah adalah kedua pangkal tersebut maka dasar yang harus pertama kali diubah adalah pemahaman (mafâhim). 
Pemahamanlah yang mengarahkan dan mempengaruhi pemikiran masyarakat. Ini karena mafâhim merupakan makna-makna dari pemikiran, atau makna-makna yang dipahami, yang memiliki realitas dalam benak. Padahal, pemikiran merupakan al hukm ‘alâ al asyyâ’ (penilaian atau penghukuman terhadap segala sesuatu).  Bila pemikiran tersebut telah benar-benar dipahami realitasnya didalam benak maka pemikiran tadi merupakan pemahaman yang dipahami dan diyakini oleh orang atau masyarakat tersebut. Padahal apa yang dipahami dan diyakini oleh seseorang atau masyarakat tak syak lagi akan mengarahkan cara berpikir dan cara menilainya.
Pada sisi lain, perbuatan/perilaku merupakan buah dari pemahaman (mafâhîm).  Karena itu, mafâhîm itu merupakan pengarah bagi perilaku/perbuatan.  Hukum asalnya, mafâhîm itulah yang melahirkan sesuatu perbuatan yang dilakukan seseorang atau kelompok orang. Misalnya, pemahaman seseorang terhadap orang lain yang dicintai, dihormati, dan diyakini merupakan utusan Allah Swt. yang memberikan jalan keselamatan akan membentuk perilaku orang tersebut mengikuti dan tunduk kepada orang yang menjadi Rasul tersebut.  Berbeda halnya jika orang lain memahami bahwa Rasul itu merupakan pemecah-belah kaumnya, merobohkan sendi-sendi keyakinannya, dan pembawa agama baru; maka sikap orang tersebut akan memusuhi Rasul tersebut. 
Berdasarkan hal tersebut, jelaslah bahwa fakta kandungan ayat tersebut adalah sesungguhnya Allah Swt. tidak akan mengubah apapun yang ada didalam diri seseorang atau suatu masyarakat hingga mereka mengubah apa yang semestinya diubah, yaitu mafâhîm-nya. 
Sebagai contoh, sistem yang kini kita huni adalah sistem bukan Islam, merupakan dâr kufr.  Sebab, hukum-hukum qath‘î tsubût dan qath‘î dilâlah seperti hukum tentang zina, riba, shalat, zakat, shaum, dan jihad tidak diterapkan oleh negara; kalaupun diterapkan sebatas individual, bukan sistemik.  Ketika kaum Muslim melalui partai hendak mengubah sistem ini menjadi sistem Islam maka partai tersebut harus mempelajari apa-apa yang meniscayakan terjadinya perubahan sistem dan perubahan masyarakat tersebut.  Ia harus mempelajari realitas sistem, fakta masyarakat, dan unsusr-unsur pembentuk masyarakat yang menentukan corak dari masyarakat tersebut.  Kelak diketahui bahwa penentu perubahan masyarakat tersebut adalah pemikiran, perasaan dan sistem aturan sebab itulah komponen-komponen pembentuk masyarakat.
Berdasarkan hal ini, untuk mengubah masyarakat haruslah dilakukan perubahan pemahaman yang berkaitan dengan pemikiran, perasaan, dan sistem aturan  yang sekarang ada menjadi pemikiran, perasaan, dan sistem aturan yang lahir dari mafâhîm Islam. Jika pemahaman Islam tentang ketiga hal tersebut telah dipahami realitasnya, diyakini, dan diterapkan di dalam individu dan masyarakat maka masyarakat kapitalis-sekular yang kini ada akan berubah menjadi masyarakat Islam dengan sistem yang diterapkan sistem Islam.
Demikianlah, perubahan dari suatu kondisi ke kondisi lain, baik perubahan tersebut bersifat individual atau kolektif masyarakat, memerlukan perubahan mafâhîm tentang perkara yang akan diubah tersebut. Perubahan mafâhîm demikian akan diikuti dengan perubahan perilaku.  Saat perubahan mafâhîm itu terjadi maka terjadi pula perubahan yang sesuai dengan mafâhîm yang baru.
      

Daftar Rujukan
1   Imam Jalalain, Tafsîr Jalâlayn, hlm. 202. Kairo, Dar al-Hadits, t.t.
2   Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibn Katsir (2/614). Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H.
3   Imam Al-Gazhali, Tafsir Jawâhir al-Qurân (1/101). Beirut: Dar Ihya’ al-Ulum, 1985.
4   Az-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân (2/281), Beirut: Dar al-Fikr, 1996.
5   Imam al-Baidhawi, Tafsîr al-Baydhawi (3/321). Beirut: Dar al-Fikr, 1996.   
6   Imam Az-Zarkasyi, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qurân (2/380). Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1391 H.
7   Imam ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, (13/114). Beirut: Dar al-Fikr, 1405 H.
8   Imam as-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr (4/81). Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
9   Imam ats-Tsa‘labi, Tafsîr ats-Tsa‘âlabi, 2/104. Beirut: Mu’asasah al-A‘lami li al-Mathbu‘ah, t.t.

No comments:

Post a Comment